DPRD PANGANDARAN BARENG UNIVERSITAS SANGGA BUANA YPKP BAHAS NASKAH AKADEMIK RAPERDA
https://www.pangandarannews.com/2019/04/drpd-pangandaran-bareng-universitas.html
Beberapa waktu lalu komisi I, II dan III DPRD Kabupaten Pangandaran, bertempat di Hotel Gino Feruci Kebonjati Bandung, menggelar rapat dengan Kelompok pakar atau Tim Ahli dari Universitas Sangga Buana YPKP Bandung, untuk membahas Naskah Akademik Raperda inisiatif DPRD. (10-13/3)
Seperti diungkapkan, Ketua Komisi I, H. Jajang Ismail mengatakan, pembahasan dua naskah Inisiatif DPRD ini meliputi naskah Akademik Raperda pemberdayaan perlindungan perempuan dan anak serta raperda tentang standar pelayanan minimal. Kedua naskah ini menjadi penting, karena terkait peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam berbagai bidang pembangunan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil perlindungan perempuan dan anak dari tindak kekerasan yang Termasuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Di dalam naskah ini juga dibahas peningkatan SDM, penguataan jejaring melalui peran serta masyarakat dan kelembagaan perlindungan perempuan dan anak. “ungkap Jajang.
Masih di tempat yang sama, Ketua komisi II DPRD Kabupaten Pangandaran H. Endang Ahmad Hidayat, dalam bahasannya, menyampaikan, ada dua naskah bahasan di komisinya, antara lain naskah akademik pengelolaan kemetrologian dan retribusi pelayanan tera / tera ulang alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya dan raperda tentang pramuwisata
Endang menngatakan, kedua naskah tersebut dipandang selama ini telah terjadi tumpang tindih kewenangan, baik dalam perspektif lembaga pada tingkat nasional maupun dalam dengan desentralisasi.
“Saat kemetrologian tidak memberikan benefit ekonomis pada daerah, daerah pun cenderung mengabaikan tugas-tugas kemetrologian ini dengan alasan keterbatasan sarana- prasarana dan SDM. “jelas Endang.
Urusan metrologi legal, seperti pelayanan tera/tera ulang uttp, kata Endang, kewenangan pemerintah tapi hingga sekarang belum berjalan optimal. Pasalnya, jumlah SDM kemetrologian sangat terbatas. Sulitnya mendapatkan formasi tenaga ahli, keterbatasan anggaran serta luasnya jangkauan pelayanan terpencil dan jauh dari ibukota provinsi.
“Tapi setelah ada undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, kewenangan pelayanan tera/tera ulang dan pengawasan yang tadinya kewenangan pemprov kini beralih ke pemerintah kabupaten/kota,"imbuhnya.
Endang menambahkan, naskah akademik raperda tentang pramuwisata ini berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 50 tahun 2011, tentang rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional tahun 2010-2025, antara lain menyebutkan, rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional yang selanjutnya disebut dengan ripparnas adalah dokumen perencanaan pembangunan kepariwisataan untuk periode 15 (lima belas) tahun terhitung sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2025.
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional (Ripparnas), lanjut Endang, merupakan pedoman penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi. Dan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (Riparda) kabupaten/kota harus menginduk pada Riparda provinsi dan Riparnas.
“Dan ripparda kabupaten merupakan dokumen perencanaan pembangunan kepariwisataan daerah untuk periode 10 tahun terhitung sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2025,”terang Endang.
Pada kesempatan lainnya, Ketua Komisi III, Wowo Kustiwa mengatakan, Pembahasan 2 (dua) buah naskah akademik raperda inisiatif DPRD tahun 2019, naskah akademik rapaerda retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran dan naskah akademik raperda pemberian nama jalan dan sarana umum.
dikatakan Wowo, pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan selain membawa pengaruh positif untuk kemakmuran masyarakat, tapi di sisi lain menimbulkan permasalahan tersendiri, seperti, munculnya bangunan dan permukiman yang mengarah ke atas yang tidak akan mempunyai kualitas baik jika mengabaikan segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, kemudahan bagi penghuni, pengguna dan pengunjung.
“Dan kami konsen pada keselamatan penghuni dari berbagai ancaman bahaya, seperti bahaya kebakaran dan lainnya.”kata Wowo.
Bangunan dan permukiman, menurut Wowo, perlu pengaturan tentunya dengan memperhatikan kesejahteraan, keadilan, pemerataan, nasionalisme, efisien, manfaat, mudah dijangkau, kemandirian, kebersamaan, kemitraan, keserasian, keseimbangan, keterpaduan, kesehatan, kelestarian, berkelanjutan, keselamatan, keamanan dan ketertiban.
Oleh karena perumahan dan kawasan tersebut, kata Wowo, perlu dikelola secara terencana, terpadu, professional, bertanggungjawab, serta selaras, serasi dan seimbang dengan penggunaan dan pemanfaatan lahan dan ruang.
“Pembahasan naskah akademik raperda terkait pemberian nama jalan dan sarana umum pun di Kabupaten Pangandaran, kita belum mempunyai peraturan daerah yang khusus mengatur itu, sehingga perlu adanya regulasi peraturan daerah untuk memberikan legitimasi sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dan peraturan perundang-undangan sektoral. “tegas Wowo.
Menurut politisi PPP berbadan tambun ini, sesuai dengan kondisi eksisting, penamaan jalan dan sarana umum harus dilakukan dengan mekanisme serta disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Sebab, masih kata Wowo, hal ini penting untuk mempertahankan ciri khas daerah, sehingga masyarakat atau siapa pun yang akan melakukan pemberian penamaan jalan dan sarana umum lainnya harus memperhatikan sejarah perjuangan bangsa, kepahlawan serta dan ciri-ciri khas kabupaten Pangandaran.
Wowo juga mengatakan, sementara untuk urusan wajib pekerjaan umum, antara lain, program pembangunan jalan dan jembatan, peningkatan jalan dan jembatan, pembangunan saluran drainase/gorong-gorong, pembangunan turap/talud/bronjong, rehabilitasi/ pemeliharaan jalan dan jembatan, tanggap darurat jalan dan jembatan, pembangunan sistem informasi/data base jalan dan jembatan, peningkatan sarana dan prasarana kebinamargaan, pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan lainnya.
"Ditambah program pengembangan kinerja pengelolaan air minum dan air limbah, pengendalian banjir, pengelolaan dan konversi sungai, danau dan sumber daya air lainnya, penyediaan dan pengolahan air baku, pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh, serta pembangunan infrastruktur perdesaan,”pungkas Wowo. (PNews)
Seperti diungkapkan, Ketua Komisi I, H. Jajang Ismail mengatakan, pembahasan dua naskah Inisiatif DPRD ini meliputi naskah Akademik Raperda pemberdayaan perlindungan perempuan dan anak serta raperda tentang standar pelayanan minimal. Kedua naskah ini menjadi penting, karena terkait peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam berbagai bidang pembangunan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil perlindungan perempuan dan anak dari tindak kekerasan yang Termasuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Di dalam naskah ini juga dibahas peningkatan SDM, penguataan jejaring melalui peran serta masyarakat dan kelembagaan perlindungan perempuan dan anak. “ungkap Jajang.
Masih di tempat yang sama, Ketua komisi II DPRD Kabupaten Pangandaran H. Endang Ahmad Hidayat, dalam bahasannya, menyampaikan, ada dua naskah bahasan di komisinya, antara lain naskah akademik pengelolaan kemetrologian dan retribusi pelayanan tera / tera ulang alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya dan raperda tentang pramuwisata
Endang menngatakan, kedua naskah tersebut dipandang selama ini telah terjadi tumpang tindih kewenangan, baik dalam perspektif lembaga pada tingkat nasional maupun dalam dengan desentralisasi.
“Saat kemetrologian tidak memberikan benefit ekonomis pada daerah, daerah pun cenderung mengabaikan tugas-tugas kemetrologian ini dengan alasan keterbatasan sarana- prasarana dan SDM. “jelas Endang.
Urusan metrologi legal, seperti pelayanan tera/tera ulang uttp, kata Endang, kewenangan pemerintah tapi hingga sekarang belum berjalan optimal. Pasalnya, jumlah SDM kemetrologian sangat terbatas. Sulitnya mendapatkan formasi tenaga ahli, keterbatasan anggaran serta luasnya jangkauan pelayanan terpencil dan jauh dari ibukota provinsi.
“Tapi setelah ada undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, kewenangan pelayanan tera/tera ulang dan pengawasan yang tadinya kewenangan pemprov kini beralih ke pemerintah kabupaten/kota,"imbuhnya.
Endang menambahkan, naskah akademik raperda tentang pramuwisata ini berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 50 tahun 2011, tentang rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional tahun 2010-2025, antara lain menyebutkan, rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional yang selanjutnya disebut dengan ripparnas adalah dokumen perencanaan pembangunan kepariwisataan untuk periode 15 (lima belas) tahun terhitung sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2025.
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional (Ripparnas), lanjut Endang, merupakan pedoman penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi. Dan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (Riparda) kabupaten/kota harus menginduk pada Riparda provinsi dan Riparnas.
“Dan ripparda kabupaten merupakan dokumen perencanaan pembangunan kepariwisataan daerah untuk periode 10 tahun terhitung sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2025,”terang Endang.
Pada kesempatan lainnya, Ketua Komisi III, Wowo Kustiwa mengatakan, Pembahasan 2 (dua) buah naskah akademik raperda inisiatif DPRD tahun 2019, naskah akademik rapaerda retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran dan naskah akademik raperda pemberian nama jalan dan sarana umum.
dikatakan Wowo, pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan selain membawa pengaruh positif untuk kemakmuran masyarakat, tapi di sisi lain menimbulkan permasalahan tersendiri, seperti, munculnya bangunan dan permukiman yang mengarah ke atas yang tidak akan mempunyai kualitas baik jika mengabaikan segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, kemudahan bagi penghuni, pengguna dan pengunjung.
“Dan kami konsen pada keselamatan penghuni dari berbagai ancaman bahaya, seperti bahaya kebakaran dan lainnya.”kata Wowo.
Bangunan dan permukiman, menurut Wowo, perlu pengaturan tentunya dengan memperhatikan kesejahteraan, keadilan, pemerataan, nasionalisme, efisien, manfaat, mudah dijangkau, kemandirian, kebersamaan, kemitraan, keserasian, keseimbangan, keterpaduan, kesehatan, kelestarian, berkelanjutan, keselamatan, keamanan dan ketertiban.
Oleh karena perumahan dan kawasan tersebut, kata Wowo, perlu dikelola secara terencana, terpadu, professional, bertanggungjawab, serta selaras, serasi dan seimbang dengan penggunaan dan pemanfaatan lahan dan ruang.
“Pembahasan naskah akademik raperda terkait pemberian nama jalan dan sarana umum pun di Kabupaten Pangandaran, kita belum mempunyai peraturan daerah yang khusus mengatur itu, sehingga perlu adanya regulasi peraturan daerah untuk memberikan legitimasi sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dan peraturan perundang-undangan sektoral. “tegas Wowo.
Menurut politisi PPP berbadan tambun ini, sesuai dengan kondisi eksisting, penamaan jalan dan sarana umum harus dilakukan dengan mekanisme serta disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Sebab, masih kata Wowo, hal ini penting untuk mempertahankan ciri khas daerah, sehingga masyarakat atau siapa pun yang akan melakukan pemberian penamaan jalan dan sarana umum lainnya harus memperhatikan sejarah perjuangan bangsa, kepahlawan serta dan ciri-ciri khas kabupaten Pangandaran.
Wowo juga mengatakan, sementara untuk urusan wajib pekerjaan umum, antara lain, program pembangunan jalan dan jembatan, peningkatan jalan dan jembatan, pembangunan saluran drainase/gorong-gorong, pembangunan turap/talud/bronjong, rehabilitasi/ pemeliharaan jalan dan jembatan, tanggap darurat jalan dan jembatan, pembangunan sistem informasi/data base jalan dan jembatan, peningkatan sarana dan prasarana kebinamargaan, pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan lainnya.
"Ditambah program pengembangan kinerja pengelolaan air minum dan air limbah, pengendalian banjir, pengelolaan dan konversi sungai, danau dan sumber daya air lainnya, penyediaan dan pengolahan air baku, pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh, serta pembangunan infrastruktur perdesaan,”pungkas Wowo. (PNews)